Tradisi
Perang Pisang bisa juga disebut dengan mesabatan biu, tradisi perang pisang
terdapat ini di Desa Tenganan Daud Tukad, Kecamatan Manggis, kabupaten Karangasem, berjarak
sekitar 60 km arah timur kota Denpasar Bali.
Apa yang menarik dari Tradisi Perang Pisang ini? Tradisi Perang Pisang ini dilakukan dalam
rangka melakukan pemilihan ketua dan wakil ketua kelompok pemuda di desa ini.
Tujuannya ialah untuk melakukan tes dan uji mental kepada para calon yang akan
menjadi pemimpin pemuda desa
setempat. Mereka harus lulus ujian dalam tradisi ini jika ingin “karier”-nya
sebagai tokoh pemuda di Tenganan berjalan dengan mulus.
Prosesnya yakni ada sedikitnya 16 pemuda yang
dipilih oleh Kelian adat sebagai lawan dalam perang melawan calon ketua dan
wakil ketua oleh kelompok pemuda desa tersebut. Keseluruhan pemuda yang
berjumlah 16 orang itu kemudian berkumpul disudut desa, ujung desa yang
merupakan tempat mereka untuk mengganti pakaian. Baju mereka diganti dengan
pakaian adat, kain kamben, dan udeng.(penutup
kepala). Dengan bertelanjang
dada mereka bersiap menunggu aba aba untuk menyerang.
Pelaksanaan perang unik sendiri dilaksanakan
berbarengan dengan Aci Katiga (upacara pada bulan ketiga dalam sistem
penanggalan Tenganan). Sebelum perang dimulai, biasanya para pemuda akan
terlebih dulu memetik buah pisang yang akan digunakan dalam berperang. Di ujung
jalan yang berlawanan, berdiri dua pemuda yang akan menjadi lawan, mereka
adalah calon ketua dan wakil ketua kelompok pemuda desa.
Para
warga desa yang semula berkumpul di Pura Bale Agung ,diminta berjajar di
sepanjang jalan yang nantinya akan dilalui oleh kedua pemuda tersebut.
Suasana bertambah semarak karena diiringi oleh suara gamelan khas Bali
yang dimainkan para tetua desa.
Upacara puncak dilaksanakan ketika kulkul
(kentongan khas Bali) dibunyikan beberapa kali. Setelah Kelian adat memberi
aba-aba, para pemuda tadi segera bergegas berjalan dengan langkah setengah
berlari menuju Pura Bale Agung. Tepat setengah perjalanan Perang Pisang pun
terjadi, dua pemuda calon ketua dan wakil ketua kelompok pemuda desa ini
menjadi sasaran utama lemparan, dengan wajah memar-memar, kulit memerah di
sejumlah bagian tubuh, mereka harus tetap melangkah menuju pura
Upacara
Perang Pisang ini baru dihentikan setelah kedua calon berhasil sampai di pintu
gerbang Pura Bale Agung. Begitu kedua calon berhasil lolos masuk pintu gerbang
pura, mereka dinyatakan lulus dan berhak dikukuhkan menjadi Ketua dan Wakil
ketua pemuda desa tersebut.
Pelaksanaan upacara Perang Pisang diakhiri
dengan megibung (makan bersama dalam satu wadah) di Pura Bale Agung yang
diikuti semua warga desa. Mereka semua duduk melingkari makanan khas yang telah
disiapkan sebelumnya. Tradisi ini untuk menghilangkan rasa permusuhan di antara
pemuda desa, ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala yang
telah diberikanNya, juga mengajarkan kepada anak-anak rasa toleransi dan
kebersamaan dengan harapan agar anak-anak tersebut kelak dikemudian hari tetap
menjaga dan melestarikan adat istiadat desa